Jumat, 23 Oktober 2015

PERBANDINGAN MUDHARABAH, MURABAHAH DAN MUSYARAKAH MENURUT PARA AHLI

  1. 1.       PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah merupakan kontrak perkongsian, kontrak ini berdasarkan prinsip kongsi untung apabila pemilik modal (Shohibul Maal) memberikan modalnya kepada  pengelola modal (Mudharib) untuk digunakan dalam perniagaan. Kemudian kedua belah pihak akan berkongsi keuntungan ataupun kerugian menurut syarat-syarat yang telah disepakati secara bersama. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemilik modal memberikan modal kepada pengelola dan sebagai balasannya pemilik modal mendapatkan bagian yang tertentu terhadap suatu keuntungan. Akan tetapi,  apabila terjadi kerugian maka pemilik modal yang menanggung sepenuhnya kerugian tersebut, sedangkan pengelola usaha tidak mendapatkan apa-apa dari pengabdian yang telah diberikannya. Oleh karena itu, keterlibatan dalam keuntungan maupun kerugian merupakan bagian yang sangat penting dalam kontrak antara pemilik modal dengan pengusaha modal karena keseluruhan kerugian ditanggung oleh pemilik modal sedangkan pengusaha modal tidak ikut menanggung kerugian dari usaha tersebut.
  1. 2.    PENGERTIAN MURABAHAH
Murabahah berasal dari kata ribhun yang artinya keuntungan. Murabahah adalah aqad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Margin keuntungan merupakan selisih harga jual dikurangi harga asal yang merupakan pendapatan atau keuntungan bagi penjual. Penyerahan barang dalam jual beli murabahah dilakukan pada saat transaksi, sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguhan dan cicilan. Ibnu Qadamah dalam kitab al-Mughni mendifinisikan murabahah sebagai jual beli dengan harga pokok dan jumlah keuntungan yang diketahui.  Pada perbankan syari’ah jual beli yang paling sering digunakan adalah jual beli yang memakai murabahah. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjual kembali dengan keuntungan tertentu berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%. Aqad murabahah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contract, karena dalam murabahah ditentukan beberapa required rate of profit-nya (keuntungan yang ingin di peroleh) .
  1. 3.       PENGERTIAN MUSYARAKAH
Musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi) adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil dimana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi bisa sama atau tidak. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama dengan memadukan seluruh sumber daya. Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar) Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya, (An-Nabhani). Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad antara 2 pihak atau lebih yang menyetujui untuk melakukan kerja sama dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani).
PERBANDINGAN ANTARA MUDHARABAH, MURABAHAH DAN MUSYARAKAH
Menurut para ahli Ekonomi Islam pada saat ini produk murabahah sudah mendominasi portofolio perbankan syariah, baik yang berbentuk Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) bahkan sampai pada tingkat Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Mengapa bank lebih memilih murabahah? Karena di dalam Fiqh tidak pernah mengatur portofolio produk sebuah lembaga keuangan syariah seperti bank, Tidak ada istilah proporsi halal atau haram dalam pengaturan portofolio produk atau jasa perbankan syariah. Oleh karena itu, adalah sah dan boleh saja bila sebuah bank syariah lebih mengutamakan menjual produk pembiayaan murabahah itu. Dalam bahasa lain, hal ini lebih bersifat kebijakan bisnis sebuah lembaga keuangan syariah, dan tergantung tentunya kepada kepentingan apa yang ada dibalik kebijakan itu.
Kemudian menurut para ahli Ekonomi Islam produk Murabahah selain sudah mendominasi portofolio perbankan syariah, produk Murabahah ternyata lebih menarik di banding dengan produk Mudharabah dan Musyarakah. Mengapa? Karena ada beberapa alasan yang pertama adalah bahwa produk Murabahah mudah diekivalenkan dengan pola perbankan konvensional. Konsekuensinya, produk ini mudah dipahami oleh bank dan masyarakat sekaligus. Oleh karena itu pula, produk ini mudah disosialisasikan. Kedua karena bentuknya yang mudah dipahami, maka juga mudah dilakukan perhitungan, sehingga produk murabahah relatif mudah dijual, dan sekaligus mengandung resiko kecil di mata bank. Oleh sebab itu, wajar bila perbankan syariah lebih menyukai dan membesarkan portofolio dalam bentuk produk murabaha tersebut.
Tetapi sesungguhnya produk mudharabah dan musyarakah tidak kalah penting juga dari produk Murabahah, sebab kedua produk tersebut merupakan dua produk perbankan syariah yang berpotensi sangat besar dalam menciptakan keseimbangan sektor moneter dan syariah. Mengapa demikian? Karena kedua produk ini betul-betul melibatkan dua pihak yang sedang bergerak mengelola sektor usaha yang tidak usah diragukan memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung. Tetapi mengapa bank jarang untuk memilih atau menggunakan produk Mudharabah dan Musyarakah? Karena Dalam kondisi riel di Indonesia, kendati mudharabah diakui mencapai rata-rata 14,33% dari total pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah, maka harus dipahami bahwa mudharabah yang dilakukan menempuh prosedur yang sangat dapat diperdebatkan. Misalnya saja, bahwa hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan kontribusi modal pihak mudharib (penyedia jasa). Ini jelas tidak sesuai dengan aturan dasar mudharabah itu sendiri, karena bahwa dalam perjanjian mudharabah maka modal finansial sesungguhnya menjadi tanggungjawab pemilik modal atau shohibul maal. Sebaliknya, mudharib memang hanya cukup bertanggungjawab pada sisi ketrampilan dan operasional saja. Selain daripada itu produk Mudharabah banyak sekali resiko yang di keluarkan di bandingkan dengan produk Murabahah seperti yang telah di jelaskan sebelumnya. Resiko yang di timbulkan dari produk Mudharabah antara lain yaitu:
Pertama, mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, karena sering kali pihak mudharib tidak melengkapi diri dengan akuntanbilitas yang memadai dengan laporan keuangan yang auditable. Persoalan ini memang tidak mudah diatasi, karena berkaitan dengan buruknya budaya akuntansi di banyak perusahaan di negeri ini.
Kedua, di sisi lain, mudharabah menuntut prasyarat kejujuran dan keterbukaan, apalagi dalam konteks mudharabah ada sebuah pengertian bahwa pihak shohibul maal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam proyek bisnis yang sedang dijalankan oleh pihak mudharib.
Ketiga, akibat dari dua kondisi di atas, seringkali pihak bank mematok nisbah bagi hasil yang barangkali relatif cukup besar bagi bank, dan sebaliknya lebih kecil bagi nasabah. Manakala nisbah bagi hasil tersebut diekivalenkan dengan tingkat bunga bank, akan terasa bahwa porsi yang harus dibayarkan pihak nasabah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan bunga bank konvensional.
Di sisi lain walaupun produk Musyarakah jarang di gunakan oleh bank, namun menurut para ahli Ekonomi Islam produk Musyarakah dapat di jadikan sebagai solusi cukup menarik apabila suatu saat bank tidak dapat lagi menggunakan produk Murabahah, karena produk Musyarakah lebih baik di banding dengan produk Mudharabah pada intinya. Mengapa para ahli mengatakan produk Musyarakah dapat menjadi solusi? Terdapat tiga alasan yaitu:
 Pertama, beban kontribusi, Kalau dalam mudharabah, maka ada garis pemisah yang tegas antara shohibul maal [yang hanya memberikan kontribusi modal sepenuhnya] dan mudharib [yang menyediakan ketrampilan sepenuhnya] maka dalam musyarakah, kedua belah pihak bersyerikat dalam bentuk yang lebih imbang, artinya kedua pihak sama-sama harus memberikan kontribusi modal dan keahlian.
Kedua, pola operasi, Ada kesan sangat kuat, bahwa dalam operasi proyek mudharabah, pihak mudharib mempunyai otoritas penuh, seakan-akan pihak shohibul maal tidak mempunyai hak intervensi apapun, kecuali menunggu hasil akhir jadi dan dilaporkan. Sebaliknya, dalam musyarakah kedua belah pihak mempunyai hak yang lebih wajar dalam monitoring bahkan intervensi operasi. Secara tidak langsung, pola ini dapat mengurangi salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh mudharabah, yakni moral hazard yang dilakukan pihak mudharib terhadap shohibul maal. Keuntungan lain adalah bahwa kedua partner dapat saling mengawasi, dan sekaligus memberikan ketrampilan sebatas kemampuan masing-masing pihak.
Ketiga, pola bagi hasil, Kalau dalam mudharabah terjadi laba, maka situasinya tidak berbeda dengan musyarakah, kecuali mungkin besaran nisbah yang disepakati semula. Artinya laba akan dibagi sesuai dengan perjanjian atau akad yang sudah disepakti pada awal proyek. Namun, manakala terjadi proyek rugi, bila ini merupakan kerugian normal, maka pihak shohibul maal yang akan menanggung sepenuhnya secara finansial, sedangkan kerugian non-finansial menjadi tanggungjawab mudharib. Ini berbeda sama sekali dengan musyarakah yang sepenuhnya menerapkan pola bagi hasil atau bagi laba dan atau rugi (profit and loss sharing). Artinya, baik laba maupun rugi akan dibagi secara proporsional antara kedua belah pihak. Ini memberikan perasaan lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.
Kesimpulannya:
Jadi itulah perbandingan antara Mudharabah, Murabahah dan Musyarakah menurut para ahli Ekonomi Islam yang mana pada saat ini Produk Murabahah lebih banyak di gunakan dalam perbankan di bandingkan dengan Produk Mudharabah dan Musyarakah karena di mata bank produk Murabahah lebih memiliki resiko yang sagat kecil di bandingkan dengan Mudharabah. Tetapi apabila bank tidak dapat menggunakan produk Murabahah lagi para ahli Ekonomi Islam memberi solusi untuk lebih baik menggunakan produk Musyarakah di banding dengan Mudharabah, karena produk Musyarakah jauh lebih adil ketentuannya seperti yang telah di amati daripada Mudharabah.

PERBEDAAN BANK KONVENSIONAL DENGAN SYARIAH

Perbedaan utama yang paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni pembagian keuntungan. Bank konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator pemilik dana dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Ada dua macam bunga yang diberikan oleh bank yaitu bunga simpanan yang diberikan oleh bank sebagai balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank dan bunga pinjaman yang diberikan oleh bank kepada para peminjam. Karena nasabah telah mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga simpanan dengan bunga pinjaman. Jadi para pemilik dana mendapatkan keuntungan dari bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tidak ikut merasakan untung rugi usaha tersebut.
Hal yang sama tak berlaku di bank syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak pemilik dana dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati.
Dari perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada bank konvensional pemilik dana akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank, nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan saja.
Mengingat adanya bunga pada bank konvensional difatwakan sama dengan riba, sehingga memunculkan alternatif untuk menghindari harta haram, di buatlah bank bersystemkan syariah. Namun ternyata tidak sedikit masyarakat umum dan bahkan kalangan intelektual terdidik, bahkan masyarakat masih menganggap bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Mereka juga beranggapan bagi hasil dan margin keuntungan, sama saja dengan bunga. Mereka mengklaim, bahwa bagi hasil hanyalah nama lain dari sistem bunga. Tegasnya, bagi hasil dan bunga sama saja. Pandangan ini juga masih terdapat di kalangan sebagian kecil ustazd yang belum memahami konsep dan operasional bagi hasil. Sehingga perlu dijelaskan perbedaan system dari bank tesebut. Perlu dipahami, bahwa bank konvensional merupakan bank yang menerapkan system bunga bank sedangkan bank syariah, menrapkan system bagi hasil.
Dari pengertian tersebut sudah menjadi penjelasan sederhana system kedua bank. Penentuan bunga pada bank konvensional ditetapkan sejak awal, tanpa pedoman pada untung rugi, sehingga besarnya bunga yang harus dibayar sudah diketahui sejak awal. Sedangkan pada sistem bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena pengambilan bagi hasil didasarkan untung rugi dengan pola nisbah (rasio) bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah ada untungnya.
Dalam sistem bunga, jika terjadi kerugian, maka kerugian itu hanya ditanggung si peminjam (debitur)saja, berdasarkan pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan, sedangkan pada sistem bagi hasil, jika terjadi kerugian, maka hal itu ditanggung bersama oleh pemilik modal dan peminjam. Pihak perbankan syariah menaggung kerugian materi, sedangkan si peminjam menanggung kerugian tenaga, waktu dan pikiran.
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Dilain pihak kepentingan pemakai dana adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah. Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja. Sedangkan pada Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank
Perbedaannya selanjutnya terdapat pada masalah aqad yang berlangsung. Pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini.
Dibawah ini akan dijabarkan beberapa perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional:
Pertama, bank syariah berdasarkan bagi hasil dan margin keuntungan, sedangkan bank biasa memakai perangkat bunga.
Kedua, pada bank syariah hubungan dengan bank syariah berbentuk kemitraan. Sedangkan pada bank biasa hubungan itu berbentuk debitur – kreditur.
Ketiga, bank syariah melakukan investasi yang halal saja, sedangkan bank biasa, bisa halal, syubhat dan haram.
Keempat, bank syariah berorientasi keuntungan duniawi dan ukhrawi, yakni sebagai pengamalan syariah. Sedangkan orientasi bank biasa semata duniawi.
Kelima, bank syariah tidak melakukan spekulasi mata uang asing dalam operasionalnya untuk meraup keuntungan, sedangkan bank konvesional banyak yang masih melakukannya. Bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank syariah tidak memandang uang sebagai komoditi, sedangkan bank biasa cenderung berpandangan demikian.
Berikut ini beberapa ciri-ciri dari bank syariah dan bank Konvensional.
Bank Syariah:
1.    Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
2.    Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam
3.    Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank
4.    Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah
5.    Prinsip bagi hasil:
·      Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi
·      Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
·      Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
·      Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil
·      Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bank Konvensional
1.    Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja
2.    Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang
3.    Sistem bunga:
·      Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
·      Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
·      Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
·      Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam

·      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.